Cari Blog Ini

Minggu, 07 Agustus 2011

Cara mengurangi dorongan Nafsu

Manusia baru dapat terhindar dari penyakit dosa dan kejahatan-kejahatan tatkala ia meyakini bahwa dosa dan kejahatan itu lebih berbahaya dan lebih memudhoratkan dari seorang pencuri, ular atau binatang buas lainnya dsb. Dan tatkala keperkasaan, keagungan serta wibawa Allah setiap saat menjadi pertimbangannya.

Dalam keseharian kita, terlihat nyata bahwa manusia dapat meninggalkan keinginan, kemauan, dan kehendak-kehendak hatinya. Misalnya seorang yang sakit diabetes, dokter benar-benar melarangnya dari memakan makanan yang manis. Maka orang itu, demi nyawanya, menyentuh makanan-makanan manis pun dia tidak mau. Jadi demikian pula halnya keinginan rohani dan dorongan nafsu. Jika keagungan dan keperkasaan Allah ta'ala telah tertanam di dalam kalbunya dengan benar, maka sikap tidak mentaati Allah akan dia rasakan lebih buruk dari memakan api dan lebih buruk dari maut.

Sekian banyak manusia mengetahui kekuasaan dan wibawa Allah ta'ala, dan sekian banyak dia meyakini bahwa mengingkari-Nya merupakan suatu hukuman yang berat, maka sebanyak itu pulalah akan menjauhi dosa, kemungkaran dan menjauhi sikap melawan hukum. Lihat sebagian orang mengalami "kematian" sebelum maut datang. Apa yang dialami oleh para akhyaar, abdaal, dan quthub, apa yang terdapat pada diri mereka? Jawabannya adalah keyakinan itu tadi. Pengetahuan yang penuh yakin serta qath'i, secara pasti dan secara fitra memaksa seseorang untuk suatu hal tertentu. Persangkaan mengenai Allah ta'ala tidaklah dapat mencukupi. Keraguan tidak tidak dapt memberi manfaat. Pengaruh telah ditanamkan hanya di dalam keyakinan. Pengetahuan yang penuh keyakinan mengenai sifat-sifat Allah ta'ala, justru lebih banyak memberikan pengaruh dibandingkan pengaruh yang ditimbulkan oleh halilintar yang sangat menakutkan. Akibat pengaruh itulah orang-orang menundukkan kepala dan membungkuk.

Jadi seberapa banyak keyakinan yang dimiliki seseorang, sebanyak itu pulalah dia akan menghindari dosa.

Falsafah Shalat Lima Waktu

Apa sebenarnya makna dari shalat lima waktu? Shalat lima waktu sebenarnya merupakan gambaran dari berbagai kondisi kita yang berbeda-beda sepanjang hari. Kita melewati lima tahapan kondisi pada saat sedang mengalami musibah dan fitrat alamiah kita menuntut bahwa kita harus melewatinya. Pertama, adalah ketika kita mendapat gambaran bahwa kita akan menghadapi musibah. Sebagai contoh, bayangkan ada surat panggilan bagi kita untuk menghadap ke suatu pengadilan. Kondisi pertama ini akan langsung meruyak rasa ketenangan dan keteduhan kita. Kondisi seperti menerima surat panggilan pengadilan ini mirip dengan saat ketika matahari mulai menggelincir. Sejalan dengan kondisi keruhanian tersebut ditetapkanlah shalat Dhuhur yaitu ketika matahari mulai menggelincir.

Kita mengalami kondisi kedua ketika kita sepertinya mendekat kepada tempat musibah terjadi. Sebagai contoh, setelah ditahan berdasar surat panggilan, tiba waktunya kita diajukan ke hadapan hakim. Pada saat demikian kita merasakan kegalauan perasaan dan beranggapan bahwa semua rasa keamanan telah meninggalkan diri kita. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan ketika sinar matahari mulai suram dan manusia bisa melihat matahari secara langsung serta menyadari bahwa sebentar lagi matahari itu akan terbenam. Sejalan dengan kondisi keruhanian seperti itu maka ditetapkanlah shalat Ashar.

Kondisi ketiga adalah keadaan ketika kita merasa kehilangan segala harapan memperoleh keselamatan dari musibah. Sebagai contoh, setelah mencatat bukti-bukti tuntutan yang akan membawa kehancuran diri kita, kita didakwa dengan bentuk pelanggaran dimana telah disiapkan surat dakwaan. Pada saat demikian, kita merasa sepertinya kehilangan semua indera dan mulai berfikir menganggap diri sebagai narapidana. Kondisi seperti itu mirip dengan saat ketika matahari terbenam dan harapan melihat terang hari sudah pupus karenanya. Diperintahkanlah shalat Maghrib yang sejalan dengan kondisi keruhanian demikian.

Kondisi keempat adalah ketika kita ditimpa musibah secara langsung dimana kegelapannya yang kelam telah menyelimuti diri kita. Sebagai contoh, setelah pembacaan bukti-bukti maka kita sepertinya lalu divonis dan diserahkan untuk dipenjarakan. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan malam ketika semuanya diselimuti kegelapan yang kelam. Untuk kondisi keruhanian seperti itu ditetapkanlah shalat Isya.

Setelah menghabiskan satu kurun waktu dalam kegelapan dan penderitaan, datanglah rahmat Ilahi yang meluap mengemuka dan menyelamatkan kita dari kegelapan dengan datangnya fajar yang menggantikan kegelapan malam dimana sinar pagi mulai muncul. Shalat Subuh ditetapkan untuk kondisi keruhanian seperti itu.

Berdasarkan kelima kondisi yang berubah terus tersebut maka Allah s.w.t. telah mengatur shalat lima waktu bagi kita. Dengan demikian kita bisa memahami bahwa shalat tersebut diatur waktunya bagi kemaslahatan kalbu kita sendiri. Bila kita menginginkan keselamatan dari segala musibah, janganlah kita sampai mengabaikan shalat lima waktu karena semua itu merupakan refleksi dari kondisi internal dan keruhanian kita. Shalat merupakan obat penawar bagi segala musibah yang mungkin mengancam. Kita tidak pernah mengetahui keadaan bagaimana yang dibawa oleh hari berikutnya. Karena itu sebelum awal hari, mohonlah kepada Tuhan kita yang Maha Abadi agar hari tersebut menjadi sumber kemaslahatan dan keberkatan bagi kita.